Salah satu kelas favoritku di semester dua
berjudul Pengantar Studi Perdamaian atau disingkat PSP. Saking menariknya kelas
ini, aku dan teman-teman sering bercanda bahwa PSP bukan kuliah, PSP adalah
kotbah. Hari ini di kelas PSP kami membicarakan mengenai privilege; sebuah keuntungan yang didapatkan seseorang secara unintended karena menjadi bagian dari
suatu kelompok. Untuk penjelasan singkat yang komprehensif, klik di sini.
‘Check your privilege!’
– Dan aku melihat bahwa aku memiliki keuntungan yang tidak aku minta, hanya karena aku bagian dari suku mayoritas dan agama mayoritas, berasal dari keluarga ekonomi menengah yang sanggup memberiku pendidikan tinggi, dengan orientasi seksual yang dianggap normal. Karena hal-hal ini, aku tidak perlu ibadah dengan sembunyi-sembunyi, tidak akan dipandang aneh apabila suatu hari aku berjalan dengan pasangan
Kembali ke kelas PSP, salah seorang peserta
kelas—angkatan 2014—menyuarakan opininya. Intinya seperti ini:
“Bicara tentang privilege, kita bisa berada di sini belajar perdamaian adalah sebuah
privilege. Mungkin, orang-orang yang
sering kita debat di postingan LINE, yang kita anggap bigot, adalah mereka yang tidak punya privilege untuk terekspos kepada hal-hal yang bisa kita pelajari. Mungkin
mereka tidak punya privilege untuk
sekolah tinggi, membaca artikel, dan sebagainya sehingga menjadi bigot yang berpikiran tertutup.”
Menarik. Jujur, aku belum pernah melihatnya
dari sudut pandang itu. Selama ini responku terhadap bigots yang kolot dengan argumennya yang nonsense antara lain: geram, memutar mata, atau malah ingin tertawa
saking bodohnya hal yang mereka katakan. Betapa ignoran diriku. Iya, mungkin mereka
dibesarkan di lingkungan yang ultra-konservatif, ultra-religius, dan
ultra-milk. NGGA LUCU. Lingkungan membentuk pola pikir, dan nilai-nilai yang
biasa ia lihat sehari-hari menjadi sebuah parameter normalitas bagi seseorang. Mungkin
aku bisa berpikiran terbuka karena aku memiliki akses terhadap media asing,
atau karena aku berada di antara orang-orang yang juga berpikiran terbuka. Beberapa
orang di luar sana tidak memiliki kemewahan tersebut.
Tapi di sisi lain, sampai kapan kita bisa
menjustifikasi kebencian para bigot dengan
asumsi ketiadaan privilege? Faktanya,
mereka bisa mengakses internet untuk berkomentar di postingan LINE dan berkoar
mengenai supremasi mayoritas, menyalahkan korban pemerkosaan, mengutuk kelompok
LGBT untuk terbakar di neraka, mengatakan bahwa perempuan seharusnya diam di
rumah dan tidak aneh-aneh. Seharusnya, akses internet tersebut bisa membawa
mereka ke sumber informasi yang relevan, sehingga setidaknya argumen bigotry mereka disokong logika yang
masuk akal.
Aku tidak meragukan bahwa ada latar belakang
tertentu yang menjadikan mereka bigoted dan
penuh kebencian. Tapi sayangnya, kita
harus mengakui bahwa kadang latar belakang tersebut adalah kemalasan untuk
melihat sudut pandang lain, egoisme primordial, dan rasa supremasi dari menjadi
anggota kelompok mayoritas atau jenis kelamin yang diuntungkan.
Intinya, tetap sabar menghadapi bigots. They do need to open up their minds.
No comments:
Post a Comment