Fait Accompli
(Heidira Hadayani, 2015)
Hujan turun rintik-rintik sore
ini. Langit gelap dan awan sudah berkumpul dengan sebuah konspirasi untuk
mengguyur kota lebih deras lagi. Dengan tas tersampir di pundak dan seikat
bunga aster putih di salah satu tangan, aku berjalan cepat-cepat, pijakan
sepatuku di atas jalanan berair menciptakan bunyi percikan yang teratur.
Hujan selalu membawaku memoriku
kembali ke hari itu, hari saat ia pergi. Berbulan-bulan sudah berlalu, namun
bagiku, ia tidak pernah benar-benar pergi. Aku melihatnya dimana-mana. Tidak
hanya dalam kenangan, tetapi juga dalam tidurku; dalam mimpi yang terdistorsi
oleh pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang entah darimana
asalnya.
Namanya Lena. Aku masih mengingat
dengan jelas segala tentang dirinya, bahkan hal kecil sekalipun. Caranya
berjalan. Makanan favoritnya. Seulas senyum puas di wajahnya ketika mendapatkan
nilai ulangan lebih baik daripadaku. Bagaimana dia mengikat rambutnya. Tidak
terlalu mengherankan, karena aku mengenalnya semenjak kami baru belajar
berjalan, kemudian berteman dan tidak terpisahkan. Mungkin ini terdengar klise,
tapi kami melengkapi satu sama lain. Dia adalah api semangat untuk
ketenanganku. Dia adalah suara lantang untuk diamku. Dia adalah optimisme untuk
realismeku. Aku mengenal baik seluk-beluk kepribadiannya, dan vice versa. Setidaknya, aku mengenalnya
sampai saat itu tiba.
Aku ingat, hari itu Lena datang
ke sekolah. Langkahnya lesu dan wajahnya masam. Seperti biasa, aku
mendatanginya untuk mengobrolkan apa yang bisa diobrolkan. Aku tidak menemukan
antusiasme sahabatku yang biasanya. Dia duduk di depanku, namun dia tidak benar-benar
ada di sana. Mengerti maksudku? Tatapannya
padaku menunjukkan semacam kerapuhan disana, seolah ada sesuatu yang
menyiksanya dari dalam, namun ia tidak mengatakan apa-apa.
Aku percaya bahwa manusia,
layaknya kehidupan, selalu berubah dan berkembang dengan proses tanpa sadar.
Namun Lena adalah suatu, tidak, seorang fenomena pertama yang benar-benar membuktikan
padaku tentang perubahan itu. Karena sejak hari itu, Lena yang kulihat
sehari-hari bukanlah orang yang sama.
Setiap kali aku mencoba membuka
pembicaraan bersamanya, ia merespon dengan dingin. Setiap kali aku bertanya apa
yang terjadi, ia mengalihkan. Semakin kudesak, semakin jauh pula ia berlari.
Hari demi hari ia semakin menutup diri. Dariku, dan dari kehidupan. Hingga
kemudian hampir hilang sepenuhnya.
Dan sejak hari itu, aku tidak
pernah berhenti bertanya mengapa.
*
Tidak hanya Lena, aku dan
orang-orang yang mengenalnya juga berubah. Anggap saja ini adalah efek domino.
Karena ia berubah, aku pun berubah, menyesuaikan diri dengan hidupku yang baru,
sebuah kehidupan dimana Lena bukanlah sahabatku. Sebuah kehidupan dimana Lena
tidak lebih dari orang asing yang kebetulan berada satu ruangan denganku.
Bukan hal yang mudah, karena
sebelum keanehan ini tercipta, dia ada dalam hampir seluruh aspek hidupku.
Bersekolah, bermain, mengerjakan tugas, berenang, sebut saja, maka kau akan
melihat kami melakukannya bersama. Beralih menuju melakukan semua itu sendirian
terasa aneh. Seakan aku ada di semesta lain dan bukannya menjalani kehidupanku
yang biasanya.
*
Tapi, hal maha aneh dari seluruh
rangkaian keanehan ini adalah saat dia benar-benar pergi. Pergi, dalam artian
yang paling dasar. Pergi. Hilang dari dunia ini. Terhapuskan eksistensinya.
Mati.
Pagi itu, hari Minggu sebelas
bulan yang lalu, telepon genggamku berdering dan sekaligus menghancurkan
rencana tidur-sampai-siangku. Sebelum aku sempat mengucapkan halo, orang di
ujung sambungan terlebih dahulu berucap, sesenggukan.
“Lena, Ra, Lena.. Sudah nggak ada.”
Detik itu, aku yakin, jantungku
berhenti berdetak. Seharusnya aku bertanya dengan panik, ‘apa maksudnya sudah nggak ada? Kamu bercanda kan? ‘ Tapi itu tidak
perlu. Nada suara si penelpon, yang tidak sempat kutanyakan identitasnya, sudah
mengungkap dengan jelas apa maksud kalimat itu.
Aku menarik nafas, bergetar.
“Bagaimana... Bagaimana dia..?”
Meninggal. Itu kata yang tidak sanggup kuucapkan.
“Maaf, Ra. Dia bunuh diri.”
Aku tidak merespon untuk sekian
lama. Telepon genggamku sudah tidak ada dalam genggaman, mungkin tergelincir
jatuh. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan penelpon di ujung sambungan.
Aku terduduk di kasur, menghadap jendela yang berembun, menampilkan buram
rintik hujan Desember pagi di luar sana.
Perasaan itu bukanlah kesedihan.
Yang pertama kali terasa adalah keasingan. Aku masih terdiam, menatap jendela,
sementara benakku berusaha menyerap informasi ini. Melayang. Seperti itu
rasanya ketika kau dihantam oleh sebuah berita seperti itu. Kemudian aku
merasakan lelehan air mataku sendiri, menuruni pipi, menetes ke bawah dan membasahi
bantal. Kemudian tertelan ruang hampa. Hampa, tepat seperti itu. Saat aku pada
akhirnya menangis, perasaan yang ada adalah kehampaan yang asing.
Sungguh aneh bagaimana kematian
akan menghapus jati diri seseorang, hingga lambat laun kita hanya mengingat momen
acak yang pernah dilalui bersama seseorang itu. Dan tanpa terasa, kemudian kau
harus bersusah payah mengingat rupa wajahnya. Dan waktu, akan dengan tidak tahu
malu merampas kenangan itu dari orang-orang yang ditinggalkan, menyisakan kekosongan
seperti sebuah bekas luka yang mengganggu.
Aku masih tidak pernah berhenti bertanya mengapa.
*
Fase setelah rasa hampa dan
sebelum menerima keadaan ialah menyalahkan diri.
Aku tidak habis pikir, bagaimana
mungkin aku bisa melewatkan tanda-tandanya. Perubahan sikapnya, penutupan
dirinya, pengasingannya, seharusnya aku menyadarinya. Ya Tuhan. Seharusnya aku
bertanya dan membantunya. Seharusnya aku mengejarnya, menariknya dari lubang
hitam dan menyelamatkannya. Namun semua itu das
sollen, seharusnya, bukan das sein, senyatanya.
Nyatanya, aku gagal. Aku terlalu egois sehingga melupakan keadaan Lena.
Terkadang aku mendapatkan mimpi
buruk. Mimpi yang sama, berulang-ulang diputar selama tidurku, membentuk sebuah
simfoni traumatis yang menghantui. Dalam mimpi itu kulihat diriku berhadapan
dengan Lena beserta sorot matanya yang menunjukkan kerapuhan. Lalu tubuhnya
retak, dimulai dari celah matanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya, pecah
menjadi partikel-partikel kecil seperti istana pasir yang diterjang ombak.
Hingga akhirnya ia hilang tidak berbekas. Atau terkadang mimpi itu
memperlihatkan Lena, menjatuhkan diri dari tepi jurang sementara aku berdiri di
belakangnya, tidak melakukan apapun kecuali membiarkannya mati.
Aku menyiksa diriku sendiri
dengan memikirkan berbagai skenario tentang ‘seandainya’.
*
Aku sedang duduk di bangku kayu taman sekolah, dengan konsentrasi penuh
menyelesaikan PR-ku, ketika Lena datang dan menempati bangku di seberangku.
“Ah, kamu selalu belajar.” Katanya.
Aku membalas cengirannya. “Hanya mengerjakan PR,” kilahku, yang tidak
suka dicap sebagai kutu-buku.
Setelah jeda keheningan beberapa saat, Lena membuka percakapan dengan
topik yang entah terinspirasi dari mana.
“Kata Buddha, hidup itu penderitaan.”
“Iya?” tanyaku, heran dengan kalimatnya.
“Entahlah. Sedari tadi aku berfikir, buat apa kita hidup? Terkekang
dengan masalah-masalah dan batasan-batasan.”
“Memangnya masalahmu seberat apa sampai berfikir sebegitunya?”
Dia menghela nafas dan tersenyum lelah. “Ada hal yang tidak pernah kuceritakan
kepadamu.” Ia melirik gerbang sekolah. “Aku pulang dulu ya!” katanya, sebelum
aku sempat bertanya lebih lanjut.
*
Hujan semakin deras dan langit
semakin gelap. Aku belum juga sampai di tempat tujuanku, dan benakku teralihkan
oleh berbagai kilas balik.
Aku belum bisa menemukan alasan
dibalik perilaku dan kematiannya yang disengaja, namun sepertinya aku mulai
bisa memahami perasaannya. Perasaan lelah akan kehidupan, sebuah konflik dalam
dirinya yang dipicu kejadian-kejadian yang tidak ia ceritakan kepadaku.
Lena yang kukenal adalah orang
yang menghargai kebebasan diatas segala-galanya. Mungkin ia menganggap kematian
sebagai jalan keluar. Sebuah pelarian dan pelepasan. Kemenangan yang hakiki
atas segala permasalahan. Sebuah akhir yang megah untuknya sendiri.
Ia pernah bercanda bahwa suatu
saat ia akan menemukan cara dimana ia akan mengungguliku sebagai balasan karena
aku selalu mengalahkannya di rangking sekolah. Dan mungkin, entahlah,
kematiannya adalah sebuah cara itu. Keunggulan yang tidak akan kutandingi,
bukti bahwa aku tidak bisa lagi mengalahkannya. Pencapaian yang telah terjadi
dan tak terbantahkan.
Aku menghela nafas. Sungguh aneh,
aku menemukan pencerahan atas pertanyaan yang menerorku selama ini, di tengah
jalan di bawah hujan. Aku hanya berharap dia tidak membenciku, karena
semestinya, kami adalah sahabat. Dan mungkin...
Ia benar.
Mungkin ia benar.
*
Aku meneruskan berjalan, di atas trotoar
basah dan di bawah langit gelap. Bunga aster putih untuk makam Lena masih ada
di tanganku.
Aku melangkahkan kaki ke jalan
raya sembari menengadahkan tangan ke langit untuk memeriksa apakah hujan masih
turun. Sebuah bisikan memanggil namaku. Aku menoleh, mencari sumber suara.
Secepat suara itu muncul, secepat itu pula suara itu hilang. Aku mendengar
suara lain. Lebih nyaring, tapi anehnya terasa jauh.
Sayup-sayup otakku dapat
mendeteksi bunyi itu.
Sesaat sebelum semuanya gelap,
aku mendengar bisikan halus itu lagi.
“Halo, teman. Kita bertemu lagi, ternyata.”
Dan aku melihat Lena tersenyum
dari tempat dimana aku menuju.
*
written two years ago.
originally published on majalah sekolah SMAN 5 (Joer-V)
No comments:
Post a Comment