Hari Jumat lalu saya dan
teman-teman berkesempatan mengobrol dengan mbak Wening dari Srikandi Lintas
Iman, sebuah organisasi non-profit yang bertujuan membangun dialog konstruktif
antar kelompok-kelompok agama. Mengapa membawa nama ‘Srikandi’ yang
mencerminkan perempuan? Karena, kata Mbak Wening, selama ini tokoh-tokoh
pemimpin dan pemuka agama kebanyakan terbatas pada laki-laki, padahal perempuan
juga berhak untuk memiliki peran. Hence, dalam kiprahnya selama dua tahun
berdiri, Srili (Srikandi Lintas Iman) juga berfokus pada isu perempuan serta
ibu dan anak. Hal ini bertujuan pula untuk menanamkan pemahaman nilai-nilai
toleransi sejak usia dini.
Mengenai isu agama, saya kira sebagai
masyarakat Indonesia kita tidak asing lagi dengan berbagai diskursus di sekitar
kita yang kental dengan unsur-unsur agamis dalam hampir setiap sendi kehidupan.
Beberapa waktu yang lalu, sedang panas-panasnya isu Pilkada DKI yang kental
dengan agama pemimpin, dimana terjadi banyak penolakan akan Ahok hanya karena bukan
berasal dari agama maupun etnis mayoritas. Sebelumnya, isu ‘penistaan agama’
seolah menjadi musuh kolektif sebagian pemeluk Islam di Indonesia. Dalam dialog
Jumat lalu saya juga mendengar berbagai kisah dari teman-teman yang sering
mendapat perlakuan intoleran karena latar belakang agama, bahkan sesimpel
karena dibesarkan dalam keluarga yang multireligius.
Selama ini saya selalu mengidolakan
visi dimana Indonesia bisa menjadi negara yang sekuler. Tidak perlu lah
mencampuradukkan agama (yang mana menurut saya merupakan ranah pribadi pilihan
tiap orang) dengan masalah politik dan tatanegara yang merupakan hal kolektif.
Pendapat saya ini berdasar dari banyaknya konflik kericuhan akibat isu agama.
Sesi sharing ini membuat saya
berpikir ulang. Selain karena secara konstitusional posisi agama dalam
Indonesia masih buram, juga karena menurut Mbak Wening, salah satu akar
munculnya intoleransi dan kebencian disebabkan tidak adanya dialog konstruktif
antar pemeluk agama, sehingga yang muncul adalah kesalahpahaman dan perdebatan
yang sayangnya seringkali bersikeras akan kebenaran masing-masing agama.
Padahal, yang seharusnya dicapai adalah dialog,
bukan debat. Dengan terwujudnya
dialog, akan muncul pemahaman mengenai perbedaan maupun persamaan antar agama,
yang tentunya semuanya mengajarkan kebaikan. Hal ini kemudian menciptakan common ground bagi semua kepercayaan untuk
koeksis dalam ranah milik bersama yang plural dan toleran. Saya sangat sadar
bahwa selama 12 tahun lebih menempuh pendidikan formal, pemahaman saya akan
agama terbatas akan agama saya sendiri. Tidak ada effort terorganisir untuk memahami ajaran agama lain.
Kembali ke Srili, dalam kegiatan-kegiatannya
yang bertujuan membangun pemahaman mutual lintas iman, banyak hambatan dan juga
tantangan, seperti adanya protes dari kelompok tertentu. Publik yang seringkali
masih sangat sensitif mengenai isu agama juga terkadang mengancam acara yang
diorganisir akan ‘diciduk’ dan sebagainya. Saya sangat kagum dengan apa yang
dilakukan oleh Srili; sebuah bentuk aktivisme non-kekerasan.
Salah satu miskonsepsi besar dalam
memaknai pluralitas adalah bawah menjadi plural berarti menerima semua
kepercayaan dan menyamakan berbagai agama yang ada dalam nama ‘toleransi.’
Padahal, bukan seperti itu. Plural berarti mampu menghormati perbedaan yang ada
dalam rangka hidup dengan aman dan tentram bersama satu sama lain. Saya
kemudian teringat salah satu artikel Johan Galtung mengenai komunitas
polikultural. Galtung berpendapat bahwa masyarakat dunia sudah bisa hidup dalam
struktur sosial yang poliglot atau multilingual, multilokal, multivora, namun
ada aspek budaya yang belum sepenuhnya dapat terintegrasi seperti agama—kita belum
multireligius[1].
Awalnya, saya cukup puzzled. Batin
saya, masa iya, menganut semua agama? Ternyata,
yang dimaksud sama dengan penjelasan mengenai pluralitas di atas. “But what can be demanded is the effort to
understand that other religion as believers in that religion do themselves.”[2]
Mbak Wening juga berbaik hati
menceritakan pengalamannya sampai menekuni dunia aktivisme lintas iman. Beliau
bercerita bahwa ia tidak selalu se-berpikiran terbuka seperti ini. Ada masa
dimana beliau mungkin menjadi sosok yang akan kita cap sebagai ‘konservatif,’
dan ‘fundamentalis.’ Terdapat proses yang panjang dan melibatkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai keimanan dan kepercayaan pribadinya hingga
sekarang ia menjadi seseorang yang dapat memaknai dan menghormati kepercayaan
lain. Intinya, proses seseorang untuk dapat sepenuhnya menjadi toleran dan
terbuka bukanlah hal yang mudah. Saya cukup tertampar dengan salah satu
pernyataan yang terlontar selama sesi dialog: ‘Jangan-jangan, selama ini kita
tidak toleran terhadap orang-orang yang intoleran?’ Kurang lebih, bisa jadi
kita terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Ingin mempromosikan toleransi, tapi
kita tidak menempatkan diri dalam posisi orang-orang yang selama ini kita labeli
sebagai ‘kolot’ dan konservatif. Dalam demokrasi, semua orang seharusnya
memiliki ruang untuk beropini dan berkeyakinan. Termasuk mereka yang bersikeras
dengan kepercayaannya untuk memilih pemimpin muslim. Termasuk isu LGBT+ di
Indonesia, dimana kaum-kaum ‘agamis’ sering menolak eksistensi mereka dengan
dalil agama. Menurut Mbak Wening, kita tidak bisa memaksa mereka untuk
semerta-merta bersifat suportif terhadap LGBT+, karena kepercayaan mereka
mengenai LGBT+ bukanlah tidak berdasar. Fokus dan tujuan pertamanya adalah
untuk mencegah mereka melakukan tindak kekerasan terhadap komunitas LGBT+, dan
ini pun bukan hal yang mudah.
Memaksa mereka untuk menerima pendapat kita yang open minded dalam sekejap saja tidak akan berhasil, ada latar belakang dan proses panjang dibalik pandangan seseorang—terlebih lagi, ini merupakan hak mereka juga. Hal ini sering luput dari pemahaman saya. Mbak Wening juga sempat menyinggung budaya ‘berdebat via sosial media’ yang nampaknya sedang menjadi tren. Di kolom komentar, ada saja dua kubu: satunya penganut agama yang memegang teguh apa yang mereka percayai bahkan sampai menebar hate-speech, dan di kubu lain orang-orang openminded yang juga tidak jarang merendahkan opini kubu satunya. Jujur,saya sering indulge dalam perdebatan semacam itu—meski seringnya hanya sebagai observator. Hal semacam ini tidak memberi manfaat apapun, karena sangat jarang tercipta kesepahaman antara kedua kubu yang berdebat, padahal yang dibutuhkan adalah dialog. Hal ini semakin memperkuat prejudice antara satu sama lain yang tentunya tidak memperbaiki keadaan di dunia nyata.
Hal ini cukup mengganjal di
pemikiran saya: sampai batas apa kita bisa bersifat toleran terhadap
orang-orang yang kepercayaannya mengancam eksistensi beberapa golongan,
terutama minoritas? Sebut saja neo-nazi atau
far-right ideology yang sedang
bermunculan di negara Barat sana. Penolakan terang-terangan terhadap etnis
maupun golongan tertentu tentunya mengancam eksistensi beberapa orang hingga
level tertentu. Atau mungkin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)—yang pada hari saya
menulis ini dibubarkan—dengan visinya membangun negara khalifah a la masa khulafaur rasyidin. Sebuah pertanyaan
yang akhirnya saya lontarkan pada Mbak Ayu dalam salah pertemuan di kelas. Jawaban
beliau bagi saya sangat memuaskan: apakah eksistensi kelompok yang saya
bicarakan benar-benar mengancam eksistensi kelompok lain? Atau itu hanya dalam
level ideologis dan ancaman yang kita rasakan hanya paranoia dan prejudice semata? Saya diminta mengingat
kembali ketakutan Indonesia terhadap komunisme yang bahkan terjadi hingga
sekarang. Terjadinya momok ketakutan itu awalnya juga berasal dari tidak adanya
ruang dialog, dan isu ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk menjustifikasi
berbagai kekerasan yang terjadi. Demikian, dibubarkannya HTI kemudian menjadi
hal yang kurang tepat dilakukan karena kembali lagi pada nilai-nilai demokrasi,
mereka berhak untuk mendapat ruang.
Inti dari ‘petuah’ Mbak Ayu, jika
tujuan kita adalah untuk berkontribusi terhadap perdamaian, maka aktivisme
apapun yang kita jalankan seharusnya hanya memerangi satu hal: kekerasan. We have to avoid violence at all costs. Apakah
toleransi yang kita perjuangkan secara tidak sadar menyakiti orang lain dan
mengabaikan perspektif mereka? Memang, saya dan juga kalian sering ‘tidak sabar’
dalam menghadapi opini-opini berbeda yang kita anggap salah. Saya masih harus
banyak belajar menghormati. Kuncinya adalah selalu bersifat reflektif dan tidak
pernah berhenti berpikir, kata Mbak Ayu. Saya setuju.
*
Terimakasih pada Mbak Wening dari
Srikandi Lintas Iman, serta Mbak DK dan Mbak Ayu sebagai dosen pengampu kelas
Pengantar Studi Perdamaian 2016. Salam Damai!
[1]
J. Galtung, Rethinking Conflict: the Cultural Approach, Council of Europe, Strasburg, 2002, p.51.
[2] J.
Galtung, ‘From Polyglot to Polycultural: A Next Step in Raising Children,’ Galtung Institut for Peace Theory and Peace
Practice, <https://www.galtung-institut.de/en/2015/from-polyglot-to-polycultural-a-next-step-in-raising-children/>, February 3rd 2015.
No comments:
Post a Comment