Sunday, August 24

Langit Senja

Keringat mengalir di badannya, dan ranselnya terasa berat. Sepasang sneakers biru tua kotor dengan tali yang tidak terikat menapaki jalan beraspal, tidak berlari namun tidak juga pelan.
Sore itu ia sangat ingin cepat-cepat sampai di rumah. Maka ia mempercepat langkahnya, lalu akhirnya naik ke dalam bemo yang sudah ditunggunya sejak sepuluh menit lalu.

Umumnya, dari situ ia butuh dua kali naik bemo. Satu kali hingga jembatan penyeberangan, menyeberang, dan satu kali menuju arah sebaliknya dimana rumahnya berada. Namun sore itu, entah kenapa ia merasakan keinginan untuk berjalan kaki. Sungguh aneh, namun anak itu memang impulsif. Maka ia turun di tengah perjalanan, menyeberang jalan di zebra-cross bersama seorang pria paruh baya, dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

Hari sudah sore dan adzan maghrib sudah terdengar, namun sinar matahari belum sepenuhnya hilang. Ia berjalan dengan kecepatan yang biasa, sesekali mendongak ke arah langit senja dan mengamati warna jingga gelap yang bergradasi dengan warna langit malam.

Ia berfikir sambil berjalan. Memikirkan apa saja. Hal-hal acak yang mendatangi pikirannya. Tentang hari itu, tentang pertandingan basket, tentang teman-temannya, tentang apa yang harus dimasak besok pagi, dan (sayangnya) tentang perasaan yang bergejolak akhir-akhir ini. Ah, memikirkan perasaan sungguh tidak menyenangkan. Mengatasi masalah hati tidak pernah menjadi urusan yang mudah untuknya. Menurutnya, ia sering tidak sengaja melukai orang lain, dan vice versa. Lalu ia berdecak dan mencela dirinya sendiri karena bersikap seperti tokoh cerita roman yang terlampau melodramatis.

Kemudian ia memasang earphone-nya dan memutar lagu dari handphone yang duduk manis di saku depan celananya. Sialnya, lagu yang terpilih secara acak malah bernada sendu, dan itu tidak membantunya mengalihkan pikiran. Masih sambil berjalan, ia pun terlarut.

Seperti langit senja yang bergradasi, terkadang perasaan juga bergradasi; campur aduk dan tidak terlihat batas-batasnya. Seperti warna langit senja yang terpatri jelas dalam ingatkan namun tidak mudah dilukiskan oleh kata-kata. Indah namun tidak mudah ditiru, ini juga seperti itu.
Tapi pada akhirnya langit senja akan berubah menjadi malam. Ia bertanya-tanya apakah ini nantinya akan berubah juga.

Akhirnya ia sampai di rumah. Menghentikan langkah, memmbuka kunci, melangkah masuk, mencopot earphone, dan berhenti memikirkan apapun.

*
(my first reaction: masyaAllah aku menjijikkan.)

No comments:

Post a Comment