Sunday, February 19

Those Who Can't Be Just Like Us

Hari ini, sedikit-banyak aku belajar untuk lebih banyak bersyukur.  

Tadi, habis latihan di rumah Khansa plus ngerjain batik di rumah Hilman, aku dianter Hilman buat nunggu bemo. (Naik sepeda tandem lho! Keren kan wakaka. Aku semacam bersorak kegirangan karena baru pertama kali._.)
Awalnya papanya Hilman semacam ragu mendengarku naik bemo sendirian. Takut aku nyasar mungkin. Sejujurnya aku nggak ngerti jalan dari Rungkut situ ke rumahku. Tapi dengan jaminan bahwa bemonya lewat Margorejo, aku sih oke-oke aja soalnya itu deket Ahmad Yani. Biasa, Si Bocah Petualang sudah biasa hidup mandiri dan naik apa saja kemana saja \m/

*

Nah. Di bemo, sedikit paranoid karena sepi dan isinya ada dua anak (atau pemuda?) berpenampilan preman.  Topi dibalik, nggak pake sendal, omongan sedikit kasar.Yah, you do know what I mean lah. Mereka bercanda-bercanda gitu, meskipun buatku itu nggak lucu. Yang cowok ngerokok. Mereka ngobrol pake bahasa Suroboyoan, dan menyebut nama-nama orang yang aneh. Semacam julukan, I assumed. Lalu, aku denger salah satu dari mereka tentang penjara Medaeng. Kayaknya pernah ditahan 2,5 bulan disitu deh. Gara-gara semacam kasus kericuhan. Nggak tau ah. Takut mikirnya.

Dari situ, aku mikir. Mereka bisa dibilang masih di bawah umur, apalagi yang cewek. Terus, mereka anaknya siapa? Boleh ya sama orangtuanya kayak gitu?  Mungkinkah dari keluarga broken home lalu bergaul di lingkungan yang salah? Atau karena keputus-asaan ekonomi, mereka harus jadi, mm, anak jalanan? Berandal? 
Nggak cuma itu. Gimana dengan anak-anak kecil yang jualan koran, bahkan meskipun hujan deres? Pernahkah mereka sekolah? Inginkah? Beranikah mereka bermimpi tentang masa depan yang berbeda? Bukan sekedar berpikir tentang uang setoran? Tentang apakah mereka masih bisa sarapan esok harinya?
Aku mbayangin, gimana kehidupan mereka sehari-hari. Bangun pagi untuk mencari nafkah sementara anak lain yang lebih beruntung berangkat ke sekolah. Sementara anak yang bersekolah menyimak guru yang menerangkan, mereka berlari kesana kemari menjajakan koran atau mengamen. Ketika anak lain seperti kita berbincang tentang menyebalkannya guru, mereka berbincang tentang daerah yang ramai untuk tempat berjualan koran. 

 Miris melihat keadaan seperti itu. Dan dari situ, aku belajar untuk lebih mensyukuri apa yang aku punya, karena bahkan masih banyak anak yang tidak punya orang tua, terlantar, terjerumus ke hal-hal nggak baik, dan akhirnya tidak bisa mempunyai masa depan yang cerah.

Dimana andil Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan
"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara"

Inikah?



*


We are the world, we are the children
We are the ones who make a brighter day
So lets start giving
There's a choice we're making
We're saving our own lives
Its true we'll make a better day
Just you and me

Send them your heart so they'll know that someone cares
And their lives will be stronger and free
As God has shown us by turning stones to bread
So we all must lend a helping hand

-Michael Jackson, We Are The World

No comments:

Post a Comment