Monday, February 27

Privilege and Bigotry

Salah satu kelas favoritku di semester dua berjudul Pengantar Studi Perdamaian atau disingkat PSP. Saking menariknya kelas ini, aku dan teman-teman sering bercanda bahwa PSP bukan kuliah, PSP adalah kotbah. Hari ini di kelas PSP kami membicarakan mengenai privilege; sebuah keuntungan yang didapatkan seseorang secara unintended karena menjadi bagian dari suatu kelompok. Untuk penjelasan singkat yang komprehensif, klik di sini.

‘Check your privilege!’ 


– Dan aku melihat bahwa aku memiliki keuntungan yang tidak aku minta, hanya karena aku bagian dari suku mayoritas dan agama mayoritas, berasal dari keluarga ekonomi menengah yang sanggup memberiku pendidikan tinggi, dengan orientasi seksual yang dianggap normal. Karena hal-hal ini, aku tidak perlu ibadah dengan sembunyi-sembunyi, tidak akan dipandang aneh apabila suatu hari aku berjalan dengan pasangan (iya iya, sekarang masih jomblo parah), tidak akan ditentang dengan alasan ras jika aku memutuskan mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah, dan tentu saja: memiliki basis pengetahuan yang membuatku berpikiran terbuka.

Kembali ke kelas PSP, salah seorang peserta kelas—angkatan 2014—menyuarakan opininya. Intinya seperti ini:

Bicara tentang privilege, kita bisa berada di sini belajar perdamaian adalah sebuah privilege. Mungkin, orang-orang yang sering kita debat di postingan LINE, yang kita anggap bigot, adalah mereka yang tidak punya privilege untuk terekspos kepada hal-hal yang bisa kita pelajari. Mungkin mereka tidak punya privilege untuk sekolah tinggi, membaca artikel, dan sebagainya sehingga menjadi bigot yang berpikiran tertutup.”

Menarik. Jujur, aku belum pernah melihatnya dari sudut pandang itu. Selama ini responku terhadap bigots yang kolot dengan argumennya yang nonsense antara lain: geram, memutar mata, atau malah ingin tertawa saking bodohnya hal yang mereka katakan.  Betapa ignoran diriku. Iya, mungkin mereka dibesarkan di lingkungan yang ultra-konservatif, ultra-religius, dan ultra-milk. NGGA LUCU. Lingkungan membentuk pola pikir, dan nilai-nilai yang biasa ia lihat sehari-hari menjadi sebuah parameter normalitas bagi seseorang. Mungkin aku bisa berpikiran terbuka karena aku memiliki akses terhadap media asing, atau karena aku berada di antara orang-orang yang juga berpikiran terbuka. Beberapa orang di luar sana tidak memiliki kemewahan tersebut.

Tapi di sisi lain, sampai kapan kita bisa menjustifikasi kebencian para bigot dengan asumsi ketiadaan privilege? Faktanya, mereka bisa mengakses internet untuk berkomentar di postingan LINE dan berkoar mengenai supremasi mayoritas, menyalahkan korban pemerkosaan, mengutuk kelompok LGBT untuk terbakar di neraka, mengatakan bahwa perempuan seharusnya diam di rumah dan tidak aneh-aneh. Seharusnya, akses internet tersebut bisa membawa mereka ke sumber informasi yang relevan, sehingga setidaknya argumen bigotry mereka disokong logika yang masuk akal.

Aku tidak meragukan bahwa ada latar belakang tertentu yang menjadikan mereka bigoted dan penuh kebencian. Tapi sayangnya, kita harus mengakui bahwa kadang latar belakang tersebut adalah kemalasan untuk melihat sudut pandang lain, egoisme primordial, dan rasa supremasi dari menjadi anggota kelompok mayoritas atau jenis kelamin yang diuntungkan.

Intinya, tetap sabar menghadapi bigots. They do need to open up their minds.

No comments:

Post a Comment