Monday, May 8

Lintas Iman dan Perdamaian


Hari Jumat lalu saya dan teman-teman berkesempatan mengobrol dengan mbak Wening dari Srikandi Lintas Iman, sebuah organisasi non-profit yang bertujuan membangun dialog konstruktif antar kelompok-kelompok agama. Mengapa membawa nama ‘Srikandi’ yang mencerminkan perempuan? Karena, kata Mbak Wening, selama ini tokoh-tokoh pemimpin dan pemuka agama kebanyakan terbatas pada laki-laki, padahal perempuan juga berhak untuk memiliki peran.  Hence, dalam kiprahnya selama dua tahun berdiri, Srili (Srikandi Lintas Iman) juga berfokus pada isu perempuan serta ibu dan anak. Hal ini bertujuan pula untuk menanamkan pemahaman nilai-nilai toleransi sejak usia dini.

Mengenai isu agama, saya kira sebagai masyarakat Indonesia kita tidak asing lagi dengan berbagai diskursus di sekitar kita yang kental dengan unsur-unsur agamis dalam hampir setiap sendi kehidupan. Beberapa waktu yang lalu, sedang panas-panasnya isu Pilkada DKI yang kental dengan agama pemimpin, dimana terjadi banyak penolakan akan Ahok hanya karena bukan berasal dari agama maupun etnis mayoritas. Sebelumnya, isu ‘penistaan agama’ seolah menjadi musuh kolektif sebagian pemeluk Islam di Indonesia. Dalam dialog Jumat lalu saya juga mendengar berbagai kisah dari teman-teman yang sering mendapat perlakuan intoleran karena latar belakang agama, bahkan sesimpel karena dibesarkan dalam keluarga yang multireligius.

Selama ini saya selalu mengidolakan visi dimana Indonesia bisa menjadi negara yang sekuler. Tidak perlu lah mencampuradukkan agama (yang mana menurut saya merupakan ranah pribadi pilihan tiap orang) dengan masalah politik dan tatanegara yang merupakan hal kolektif. Pendapat saya ini berdasar dari banyaknya konflik kericuhan akibat isu agama. Sesi sharing ini membuat saya berpikir ulang. Selain karena secara konstitusional posisi agama dalam Indonesia masih buram, juga karena menurut Mbak Wening, salah satu akar munculnya intoleransi dan kebencian disebabkan tidak adanya dialog konstruktif antar pemeluk agama, sehingga yang muncul adalah kesalahpahaman dan perdebatan yang sayangnya seringkali bersikeras akan kebenaran masing-masing agama. Padahal, yang seharusnya dicapai adalah dialog, bukan debat. Dengan terwujudnya dialog, akan muncul pemahaman mengenai perbedaan maupun persamaan antar agama, yang tentunya semuanya mengajarkan kebaikan. Hal ini kemudian menciptakan common ground bagi semua kepercayaan untuk koeksis dalam ranah milik bersama yang plural dan toleran. Saya sangat sadar bahwa selama 12 tahun lebih menempuh pendidikan formal, pemahaman saya akan agama terbatas akan agama saya sendiri. Tidak ada effort terorganisir untuk memahami ajaran agama lain.
Kembali ke Srili, dalam kegiatan-kegiatannya yang bertujuan membangun pemahaman mutual lintas iman, banyak hambatan dan juga tantangan, seperti adanya protes dari kelompok tertentu. Publik yang seringkali masih sangat sensitif mengenai isu agama juga terkadang mengancam acara yang diorganisir akan ‘diciduk’ dan sebagainya. Saya sangat kagum dengan apa yang dilakukan oleh Srili; sebuah bentuk aktivisme non-kekerasan.

Salah satu miskonsepsi besar dalam memaknai pluralitas adalah bawah menjadi plural berarti menerima semua kepercayaan dan menyamakan berbagai agama yang ada dalam nama ‘toleransi.’ Padahal, bukan seperti itu. Plural berarti mampu menghormati perbedaan yang ada dalam rangka hidup dengan aman dan tentram bersama satu sama lain. Saya kemudian teringat salah satu artikel Johan Galtung mengenai komunitas polikultural. Galtung berpendapat bahwa masyarakat dunia sudah bisa hidup dalam struktur sosial yang poliglot atau multilingual, multilokal, multivora, namun ada aspek budaya yang belum sepenuhnya dapat terintegrasi seperti agama—kita belum multireligius[1]. Awalnya, saya cukup puzzled. Batin saya, masa iya, menganut semua agama? Ternyata, yang dimaksud sama dengan penjelasan mengenai pluralitas di atas. “But what can be demanded is the effort to understand that other religion as believers in that religion do themselves.”[2]

Mbak Wening juga berbaik hati menceritakan pengalamannya sampai menekuni dunia aktivisme lintas iman. Beliau bercerita bahwa ia tidak selalu se-berpikiran terbuka seperti ini. Ada masa dimana beliau mungkin menjadi sosok yang akan kita cap sebagai ‘konservatif,’ dan ‘fundamentalis.’ Terdapat proses yang panjang dan melibatkan pertanyaan-pertanyaan mengenai keimanan dan kepercayaan pribadinya hingga sekarang ia menjadi seseorang yang dapat memaknai dan menghormati kepercayaan lain. Intinya, proses seseorang untuk dapat sepenuhnya menjadi toleran dan terbuka bukanlah hal yang mudah. Saya cukup tertampar dengan salah satu pernyataan yang terlontar selama sesi dialog: ‘Jangan-jangan, selama ini kita tidak toleran terhadap orang-orang yang intoleran?’ Kurang lebih, bisa jadi kita terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Ingin mempromosikan toleransi, tapi kita tidak menempatkan diri dalam posisi orang-orang yang selama ini kita labeli sebagai ‘kolot’ dan konservatif. Dalam demokrasi, semua orang seharusnya memiliki ruang untuk beropini dan berkeyakinan. Termasuk mereka yang bersikeras dengan kepercayaannya untuk memilih pemimpin muslim. Termasuk isu LGBT+ di Indonesia, dimana kaum-kaum ‘agamis’ sering menolak eksistensi mereka dengan dalil agama. Menurut Mbak Wening, kita tidak bisa memaksa mereka untuk semerta-merta bersifat suportif terhadap LGBT+, karena kepercayaan mereka mengenai LGBT+ bukanlah tidak berdasar. Fokus dan tujuan pertamanya adalah untuk mencegah mereka melakukan tindak kekerasan terhadap komunitas LGBT+, dan ini pun bukan hal yang mudah.

Memaksa mereka untuk menerima pendapat kita yang open minded dalam sekejap saja tidak akan berhasil, ada latar belakang dan proses panjang dibalik pandangan seseorang—terlebih lagi, ini merupakan hak mereka juga. Hal ini sering luput dari pemahaman saya. Mbak Wening juga sempat menyinggung budaya ‘berdebat via sosial media’ yang nampaknya sedang menjadi tren. Di kolom komentar, ada saja dua kubu: satunya penganut agama yang memegang teguh apa yang mereka percayai bahkan sampai menebar hate-speech, dan di kubu lain orang-orang openminded yang juga tidak jarang merendahkan opini kubu satunya. Jujur,saya sering indulge dalam perdebatan semacam itu—meski seringnya hanya sebagai observator. Hal semacam ini tidak memberi manfaat apapun, karena sangat jarang tercipta kesepahaman antara kedua kubu yang berdebat, padahal yang dibutuhkan adalah dialog. Hal ini semakin memperkuat prejudice antara satu sama lain yang tentunya tidak memperbaiki keadaan di dunia nyata.

Hal ini cukup mengganjal di pemikiran saya: sampai batas apa kita bisa bersifat toleran terhadap orang-orang yang kepercayaannya mengancam eksistensi beberapa golongan, terutama minoritas? Sebut saja neo-nazi atau far-right ideology yang sedang bermunculan di negara Barat sana. Penolakan terang-terangan terhadap etnis maupun golongan tertentu tentunya mengancam eksistensi beberapa orang hingga level tertentu. Atau mungkin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)—yang pada hari saya menulis ini dibubarkan—dengan visinya membangun negara khalifah a la masa khulafaur rasyidin. Sebuah pertanyaan yang akhirnya saya lontarkan pada Mbak Ayu dalam salah pertemuan di kelas. Jawaban beliau bagi saya sangat memuaskan: apakah eksistensi kelompok yang saya bicarakan benar-benar mengancam eksistensi kelompok lain? Atau itu hanya dalam level ideologis dan ancaman yang kita rasakan hanya paranoia dan prejudice semata? Saya diminta mengingat kembali ketakutan Indonesia terhadap komunisme yang bahkan terjadi hingga sekarang. Terjadinya momok ketakutan itu awalnya juga berasal dari tidak adanya ruang dialog, dan isu ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk menjustifikasi berbagai kekerasan yang terjadi. Demikian, dibubarkannya HTI kemudian menjadi hal yang kurang tepat dilakukan karena kembali lagi pada nilai-nilai demokrasi, mereka berhak untuk mendapat ruang.

Inti dari ‘petuah’ Mbak Ayu, jika tujuan kita adalah untuk berkontribusi terhadap perdamaian, maka aktivisme apapun yang kita jalankan seharusnya hanya memerangi satu hal: kekerasan. We have to avoid violence at all costs. Apakah toleransi yang kita perjuangkan secara tidak sadar menyakiti orang lain dan mengabaikan perspektif mereka? Memang, saya dan juga kalian sering ‘tidak sabar’ dalam menghadapi opini-opini berbeda yang kita anggap salah. Saya masih harus banyak belajar menghormati. Kuncinya adalah selalu bersifat reflektif dan tidak pernah berhenti berpikir, kata Mbak Ayu. Saya setuju.

*
Terimakasih pada Mbak Wening dari Srikandi Lintas Iman, serta Mbak DK dan Mbak Ayu sebagai dosen pengampu kelas Pengantar Studi Perdamaian 2016. Salam Damai!






[1] J. Galtung, Rethinking Conflict: the Cultural Approach, Council of Europe, Strasburg, 2002, p.51.
[2] J. Galtung, ‘From Polyglot to Polycultural: A Next Step in Raising Children,’ Galtung Institut for Peace Theory and Peace Practice, <https://www.galtung-institut.de/en/2015/from-polyglot-to-polycultural-a-next-step-in-raising-children/>February 3rd 2015.

No comments:

Post a Comment