Monday, May 15

Fait Accompli



Fait Accompli
(Heidira Hadayani, 2015)

Hujan turun rintik-rintik sore ini. Langit gelap dan awan sudah berkumpul dengan sebuah konspirasi untuk mengguyur kota lebih deras lagi. Dengan tas tersampir di pundak dan seikat bunga aster putih di salah satu tangan, aku berjalan cepat-cepat, pijakan sepatuku di atas jalanan berair menciptakan bunyi percikan yang teratur.  
Hujan selalu membawaku memoriku kembali ke hari itu, hari saat ia pergi. Berbulan-bulan sudah berlalu, namun bagiku, ia tidak pernah benar-benar pergi. Aku melihatnya dimana-mana. Tidak hanya dalam kenangan, tetapi juga dalam tidurku; dalam mimpi yang terdistorsi oleh pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang entah darimana asalnya. 

Namanya Lena. Aku masih mengingat dengan jelas segala tentang dirinya, bahkan hal kecil sekalipun. Caranya berjalan. Makanan favoritnya. Seulas senyum puas di wajahnya ketika mendapatkan nilai ulangan lebih baik daripadaku. Bagaimana dia mengikat rambutnya. Tidak terlalu mengherankan, karena aku mengenalnya semenjak kami baru belajar berjalan, kemudian berteman dan tidak terpisahkan. Mungkin ini terdengar klise, tapi kami melengkapi satu sama lain. Dia adalah api semangat untuk ketenanganku. Dia adalah suara lantang untuk diamku. Dia adalah optimisme untuk realismeku. Aku mengenal baik seluk-beluk kepribadiannya, dan vice versa. Setidaknya, aku mengenalnya sampai saat itu tiba. 

Aku ingat, hari itu Lena datang ke sekolah. Langkahnya lesu dan wajahnya masam. Seperti biasa, aku mendatanginya untuk mengobrolkan apa yang bisa diobrolkan. Aku tidak menemukan antusiasme sahabatku yang biasanya. Dia duduk di depanku, namun dia tidak benar-benar ada di sana. Mengerti maksudku? Tatapannya padaku menunjukkan semacam kerapuhan disana, seolah ada sesuatu yang menyiksanya dari dalam, namun ia tidak mengatakan apa-apa.

Aku percaya bahwa manusia, layaknya kehidupan, selalu berubah dan berkembang dengan proses tanpa sadar. Namun Lena adalah suatu, tidak, seorang fenomena pertama yang benar-benar membuktikan padaku tentang perubahan itu. Karena sejak hari itu, Lena yang kulihat sehari-hari bukanlah orang yang sama.

Setiap kali aku mencoba membuka pembicaraan bersamanya, ia merespon dengan dingin. Setiap kali aku bertanya apa yang terjadi, ia mengalihkan. Semakin kudesak, semakin jauh pula ia berlari. Hari demi hari ia semakin menutup diri. Dariku, dan dari kehidupan. Hingga kemudian hampir hilang sepenuhnya.

Dan sejak hari itu, aku tidak pernah berhenti bertanya mengapa.

*
Tidak hanya Lena, aku dan orang-orang yang mengenalnya juga berubah. Anggap saja ini adalah efek domino. Karena ia berubah, aku pun berubah, menyesuaikan diri dengan hidupku yang baru, sebuah kehidupan dimana Lena bukanlah sahabatku. Sebuah kehidupan dimana Lena tidak lebih dari orang asing yang kebetulan berada satu ruangan denganku.
Bukan hal yang mudah, karena sebelum keanehan ini tercipta, dia ada dalam hampir seluruh aspek hidupku. Bersekolah, bermain, mengerjakan tugas, berenang, sebut saja, maka kau akan melihat kami melakukannya bersama. Beralih menuju melakukan semua itu sendirian terasa aneh. Seakan aku ada di semesta lain dan bukannya menjalani kehidupanku yang biasanya.

*
Tapi, hal maha aneh dari seluruh rangkaian keanehan ini adalah saat dia benar-benar pergi. Pergi, dalam artian yang paling dasar. Pergi. Hilang dari dunia ini. Terhapuskan eksistensinya. Mati.
Pagi itu, hari Minggu sebelas bulan yang lalu, telepon genggamku berdering dan sekaligus menghancurkan rencana tidur-sampai-siangku. Sebelum aku sempat mengucapkan halo, orang di ujung sambungan terlebih dahulu berucap, sesenggukan.

“Lena, Ra, Lena.. Sudah nggak ada.”

Detik itu, aku yakin, jantungku berhenti berdetak. Seharusnya aku bertanya dengan panik, ‘apa maksudnya sudah nggak ada? Kamu bercanda kan? ‘ Tapi itu tidak perlu. Nada suara si penelpon, yang tidak sempat kutanyakan identitasnya, sudah mengungkap dengan jelas apa maksud kalimat itu. 

Aku menarik nafas, bergetar.

“Bagaimana... Bagaimana dia..?” Meninggal. Itu kata yang tidak sanggup kuucapkan.

“Maaf, Ra. Dia bunuh diri.”

Aku tidak merespon untuk sekian lama. Telepon genggamku sudah tidak ada dalam genggaman, mungkin tergelincir jatuh. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan penelpon di ujung sambungan. Aku terduduk di kasur, menghadap jendela yang berembun, menampilkan buram rintik hujan Desember pagi di luar sana.

Perasaan itu bukanlah kesedihan. Yang pertama kali terasa adalah keasingan. Aku masih terdiam, menatap jendela, sementara benakku berusaha menyerap informasi ini. Melayang. Seperti itu rasanya ketika kau dihantam oleh sebuah berita seperti itu. Kemudian aku merasakan lelehan air mataku sendiri, menuruni pipi, menetes ke bawah dan membasahi bantal. Kemudian tertelan ruang hampa. Hampa, tepat seperti itu. Saat aku pada akhirnya menangis, perasaan yang ada adalah kehampaan yang asing.

Sungguh aneh bagaimana kematian akan menghapus jati diri seseorang, hingga lambat laun kita hanya mengingat momen acak yang pernah dilalui bersama seseorang itu. Dan tanpa terasa, kemudian kau harus bersusah payah mengingat rupa wajahnya. Dan waktu, akan dengan tidak tahu malu merampas kenangan itu dari orang-orang yang ditinggalkan, menyisakan kekosongan seperti sebuah bekas luka yang mengganggu.

Aku masih tidak pernah berhenti bertanya mengapa.

*
Fase setelah rasa hampa dan sebelum menerima keadaan ialah menyalahkan diri.

Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin aku bisa melewatkan tanda-tandanya. Perubahan sikapnya, penutupan dirinya, pengasingannya, seharusnya aku menyadarinya. Ya Tuhan. Seharusnya aku bertanya dan membantunya. Seharusnya aku mengejarnya, menariknya dari lubang hitam dan menyelamatkannya. Namun semua itu das sollen, seharusnya, bukan das sein, senyatanya. Nyatanya, aku gagal. Aku terlalu egois sehingga melupakan keadaan Lena.

Terkadang aku mendapatkan mimpi buruk. Mimpi yang sama, berulang-ulang diputar selama tidurku, membentuk sebuah simfoni traumatis yang menghantui. Dalam mimpi itu kulihat diriku berhadapan dengan Lena beserta sorot matanya yang menunjukkan kerapuhan. Lalu tubuhnya retak, dimulai dari celah matanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya, pecah menjadi partikel-partikel kecil seperti istana pasir yang diterjang ombak. Hingga akhirnya ia hilang tidak berbekas. Atau terkadang mimpi itu memperlihatkan Lena, menjatuhkan diri dari tepi jurang sementara aku berdiri di belakangnya, tidak melakukan apapun kecuali membiarkannya mati.

Aku menyiksa diriku sendiri dengan memikirkan berbagai skenario tentang ‘seandainya’.

*
Aku sedang duduk di bangku kayu taman sekolah, dengan konsentrasi penuh menyelesaikan PR-ku, ketika Lena datang dan menempati bangku di seberangku.
“Ah, kamu selalu belajar.” Katanya.
Aku membalas cengirannya. “Hanya mengerjakan PR,” kilahku, yang tidak suka dicap sebagai kutu-buku.
Setelah jeda keheningan beberapa saat, Lena membuka percakapan dengan topik yang entah terinspirasi dari mana.
“Kata Buddha, hidup itu penderitaan.”
“Iya?” tanyaku, heran dengan kalimatnya.
“Entahlah. Sedari tadi aku berfikir, buat apa kita hidup? Terkekang dengan masalah-masalah dan batasan-batasan.”
“Memangnya masalahmu seberat apa sampai berfikir sebegitunya?”
Dia menghela nafas dan tersenyum lelah. “Ada hal yang tidak pernah kuceritakan kepadamu.” Ia melirik gerbang sekolah. “Aku pulang dulu ya!” katanya, sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut. 

*
Hujan semakin deras dan langit semakin gelap. Aku belum juga sampai di tempat tujuanku, dan benakku teralihkan oleh berbagai kilas balik.
Aku belum bisa menemukan alasan dibalik perilaku dan kematiannya yang disengaja, namun sepertinya aku mulai bisa memahami perasaannya. Perasaan lelah akan kehidupan, sebuah konflik dalam dirinya yang dipicu kejadian-kejadian yang tidak ia ceritakan kepadaku.
Lena yang kukenal adalah orang yang menghargai kebebasan diatas segala-galanya. Mungkin ia menganggap kematian sebagai jalan keluar. Sebuah pelarian dan pelepasan. Kemenangan yang hakiki atas segala permasalahan. Sebuah akhir yang megah untuknya sendiri.
Ia pernah bercanda bahwa suatu saat ia akan menemukan cara dimana ia akan mengungguliku sebagai balasan karena aku selalu mengalahkannya di rangking sekolah. Dan mungkin, entahlah, kematiannya adalah sebuah cara itu. Keunggulan yang tidak akan kutandingi, bukti bahwa aku tidak bisa lagi mengalahkannya. Pencapaian yang telah terjadi dan tak terbantahkan.
Aku menghela nafas. Sungguh aneh, aku menemukan pencerahan atas pertanyaan yang menerorku selama ini, di tengah jalan di bawah hujan. Aku hanya berharap dia tidak membenciku, karena semestinya, kami adalah sahabat. Dan mungkin...

Ia benar.

Mungkin ia benar.

*

Aku meneruskan berjalan, di atas trotoar basah dan di bawah langit gelap. Bunga aster putih untuk makam Lena masih ada di tanganku.
Aku melangkahkan kaki ke jalan raya sembari menengadahkan tangan ke langit untuk memeriksa apakah hujan masih turun. Sebuah bisikan memanggil namaku. Aku menoleh, mencari sumber suara. Secepat suara itu muncul, secepat itu pula suara itu hilang. Aku mendengar suara lain. Lebih nyaring, tapi anehnya terasa jauh.
Sayup-sayup otakku dapat mendeteksi bunyi itu.
Sesaat sebelum semuanya gelap, aku mendengar bisikan halus itu lagi.
“Halo, teman. Kita bertemu lagi, ternyata.”
Dan aku melihat Lena tersenyum dari tempat dimana aku menuju.

*
written two years ago.
originally published on majalah sekolah SMAN 5 (Joer-V)

No comments:

Post a Comment